Kemerdekaan dan Pergulatan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia

Anda bisa menjadi kolumnis !

Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Daftar di sini

Kirim artikel

Editor Sandro Gatra

“For indigenous peoples,land is not a commodity. It is a spiritual and cultural foundation that sustains their lives,their identity,and their relationship with nature." — Myrna Cunningham (2012)

MERDEKA. Kata ini seharusnya memiliki arti mendalam bagi setiap warga negara Indonesia,termasuk masyarakat hukum adat yang telah lama eksis jauh sebelum terbentuknya negara ini.

Sayangnya,makna kemerdekaan bagi mereka sering kali tereduksi hanya sekadar simbol,tidak mewujud nyata dalam bentuk pengakuan hak-hak dan kedaulatan mereka atas tanah ulayat yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Ironisnya,pada saat sama,negara dan sektor swasta justru menjadi aktor utama yang merampas kemerdekaan mereka dengan dalih pembangunan dan investasi.

Kondisi ini tercermin dalam berbagai kasus yang menimpa masyarakat adat di seluruh Indonesia.

Salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat adalah ketidakadilan hukum ketika mempertahankan tanah leluhur mereka.

Contoh nyatanya bisa dilihat dalam kasus Sorbatua Siallagan,Ketua Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Kabupaten Simalungun,Sumatera Utara.

Sorbatua divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Simalungun karena dianggap menyerobot kawasan hutan,tuduhan yang mengabaikan kenyataan bahwa tanah tersebut adalah tanah adat yang telah lama mereka huni dan kelola.

Tak hanya itu,Sorbatua juga dijatuhi hukuman denda sebesar Rp 1 miliar,dengan subsidair enam bulan penjara.

Kasus ini adalah cerminan jelas bagaimana masyarakat hukum adat terus terpinggirkan dan diperlakukan tidak adil di tanah mereka sendiri.

Pengakuan di atas kertas

Salah satu permasalahan mendasar yang memperparah kondisi ini adalah pengakuan atas masyarakat hukum adat yang terjebak di atas kertas.

Secara konstitusional,masyarakat hukum adat diakui dan dihormati. Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya,sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Namun,pengakuan ini sering kali tidak diikuti dengan perlindungan nyata di lapangan. Ketika hak-hak masyarakat adat dihadapkan pada kepentingan investasi dan penguasaan lahan oleh pihak swasta,pengakuan tersebut sering kali tidak memiliki kekuatan hukum berarti.

Masalah ini terlihat jelas pada kasus masyarakat adat di Pulau Rempang,Kepulauan Riau,yang dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka demi proyek pembangunan.

Kondisi serupa juga dialami oleh masyarakat adat di Kepulauan Mentawai. Komersialisasi hutan yang dilakukan tanpa memperhitungkan keberadaan masyarakat adat telah merusak tatanan sosial,budaya,dan spiritual yang telah mereka bangun selama berabad-abad.

Penafian: Artikel ini direproduksi dari media lain. Tujuan pencetakan ulang adalah untuk menyampaikan lebih banyak informasi. Ini tidak berarti bahwa situs web ini setuju dengan pandangannya dan bertanggung jawab atas keasliannya, dan tidak memikul tanggung jawab hukum apa pun. Semua sumber daya di situs ini dikumpulkan di Internet. Tujuan berbagi hanya untuk pembelajaran dan referensi semua orang. Jika ada pelanggaran hak cipta atau kekayaan intelektual, silakan tinggalkan pesan kepada kami.
©hak cipta2009-2020 Jaringan Informasi Kehidupan Lokal      Hubungi kami   SiteMap